UTOPIA BUMI SATU WAJAH

599644_446710425359649_191kik7821882_n1

Globalisasi, didukung teknologi komunikasi dan informasi, membongkar dinding geografis, dan merobohkan sekat-sekat budaya. Dunia dipadatkan dalam tombol-tombol digital. Banjir informasi, Komunikasi tanpa-batas berakibat lalu-lintas pertukaran antar budaya jadi ramai, bahkan semrawut. Yang khas dari gejala ini adalah tampilnya “sang liyan”. Kesadaran kita pun limbung.  Termasuk kesadaran beragama (Muslim). Bagaimana respon Muslim? Bagi yang punya sekoci epistemik, gelombang pasang globalisasi, tsunami informasi dan badai komunikasi bukan ancaman, tapi sebagai tantangan.  Mereka mengubah badai menjadi energi positif. Mereka belajar dari sejarah Muslim klasik bahwa, Islam mampu melakukan adaptasi-kritis-kreatif terhadap ragam budaya tanpa “membebek”. Mereka aktif berdialog, bekerjasama dengan “yang liyan” merancang-bangun peradaban yang lebih manusiawi.  Sedangkan bagi yang tak siap: ada yang hanyut bak bui di lautan; ada pula yang menantang arus-deras. Muslim garis-keras, fundamentalis memilih jalan menantang arus. Semua yang berbeda adalah ancaman, musuh. Dan ini disebut “jihad global”. Mereka tak siap hidup berdampingan dan bekerjasama dengan “yang liyan”.  Secara Machevilianistik, mereka menggunakan “perkakas” modern: medsos,  sampai slogan demokrasi, menghalalkan apa pun: kebohongan, fitnah, menebar ketakutan, bahkan teror, kekerasan demi mewujudkan bumi satu wajah, satu warna atas nama satu tuhan (dengan “t” kecil) ! Wa Allahu a’lam bi al-shawab.