Habibie, Prabowo, dan Krisisme Historis

Buku ‘Detik-Detik yang Menentukan’ karya mantan Presiden RI BJ Habibie memicu polemik. Di buku tersebut, Habibie mencatat peristiwa pergeseran kekuasaan yang berakibat ‘digantinya’ Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto. Detail-detail pertemuan Habibie dan Prabowo yang diceritakan mengundang tanggapan-balik Prabowo. Menurut Prabowo, tidak semua peritiwa yang dikisahkan Habibie itu benar. Ada bias ‘perspektif’ Habibie, kata Prabowo. Prabowo pun ‘mengancam’ akan menulis buku ‘tandingan.’ Bagaimana fenomena Habibie-Prabowo ini kita baca?

Setidaknya ada dua hal yang bisa dicatat dari perdebatan Habibie dengan Prabowo. Pertama, Habibie dan Prabowo mencontohkan tradisi berbeda pandangan yang elegan. Habibie menulis buku, dan Prabowo (rencananya) ‘melawan’ dengan menulis buku. Kultur perbedaan yang sehat karena berorientasi pada otak dan rasio, bukan otot dan emosi. Kedua, fenomena Habibie dan Prabowo merupakan momen ‘perebutan’ sejarah. Sebetulnya, perang argumentasi Habibie dan Prabowo adalah upaya kedua pihak untuk menempatkan dirinya dalam catatan narasi besar sejarah politik Indonesia. Keduanya mencoba untuk menjadi ‘orang besar’ sejarah. Mereka tahu bahwa sejarah adalah koleksi dari biografi orang-orang besar. Bahkan, Thomas Carlyle berujar bahwa sejarah universal merupakan sejarah apa yang telah tercapai oleh umat manusia di dunia dan pada dasarnya adalah sejarah manusia besar yang sudah bekerja di dunia.

Orang besar
Kebesaran seseorang dapat diukur dari sejauh mana membayangi generasi sesudahnya. Beberapa orang menentukan jalannya sejarah untuk waktu yang lama. Mereka mengukir dirinya dalam prasasti sejarah, lasting imprint in history, contohnya Nabi Muhammad SAW. Tapi ada pula orang yang berpengaruh sebentar (trend setters) dan pengaruhnya pun hanya pada satu bidang saja, misalnya Piere Cardin yang mempengaruhi dunia mode.

Dari segi ruang dan waktu, dampak pengaruh individu itu pun ada yang terbatas. Soeharto, misalnya, hanya berpengaruh di Indonesia, sementara orang seperti Nabi Muhammad SAW memperoleh kebesaran yang mencakup seluruh dunia.

Di dalam sejarah ada dua macam alur yang terjadi: akibat-akibat objektif yang ditimbulkan, yang tidak direncanakan dan akibat yang sudah direncanakan serta dimaksudkan oleh manusia besar tersebut. Contoh macam yang kedua adalah Ronald Reagan yang menginginkan AS menjadi koboi dunia. Apa yang dicita-citakannya tersebut mewujud.

Namun, macam yang pertamalah yang kerap terjadi. Manusia besar lahir karena peristiwa besar yang tak diharapkan terjadi atau tidak sesuai dengan ajaran yang dianut secara umum waktu itu (peristiwa penentangan arus). Peristiwa Gerakan 30 September 1965, merupakan sebuah penentangan arus yang menginginkan Indonesia jadi negara komunis, tapi gagal. Lahirlah ‘orang besar’ Soeharto. Soeharto mencita-citakan sebuah negara demokratis di mana rakyat berdaulat, namun hasilnya jauh panggang dari api. Siapakah orang besar dari pergeseran Orde Baru ke Orde Reformasi? Tampaknya, inilah yang diperebutkan Habibie dan Prabowo.

Laboratorium sejarah
Sejarah adalah narasi yang dikonstruksi oleh sejarahwan. Awalnya, sejarah terdiri dari penggalan peristiwa yang tercerai-berai, tidak runut, dan acak. Para sejarahwan menata penggalan-pengalan peristiwa itu dalam satu alur cerita. Namun narasi sejarah tersebut tidak selalu identik dengan fakta sejarah. Sebab sang sejarahwan memakai kerangka epistemologis tertentu sebagai bingkai tafsir peristiwa. Karena itu sejarah harus selalu dibaca ulang. Para sejarahwan harus jujur mengakui bahwa catatan sejarah yang dihasilkannya adalah tafsir pribadinya atas peristiwa-peristiwa. Sejarah tidak ada yang absolut. Sejarah bersifat absolut-relatif. Suatu narasi sejarah bersifat mutlak selama tidak ada narasi lain yang menandingi, atau mengugurkan narasi sejarah tersebut (relatif).

Lalu, tugas sejarahwan adalah membentuk visi dan perspektif baru tentang masa silam yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat di masa kini dan harapannya untuk masa depan. Penemuan (invention) dan penemuan kembali (reinvention) sejarah adalah keniscayaan bagi bangsa yang ingin menciptakan masa depan yang lebih baik. Tujuannya adalah untuk ‘mengoreksi’ atau bahkan ‘menghilangkan’ pemahaman serta ingatan bersama tentang masa silam yang kurang menyenangkan, dengan rasionalisasi yang bisa diterima, mampu mendorong semangat, dan lebih kondusif untuk kini dan masa depan. Yang dibutuhkan dari sejarah adalah membangkitkan kembali sense of togetherness, dan sense of purpose dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Jadi sejarah merupakan laboratorium di mana kita menggali pelajaran. pelajaran yang baik kita pegang, tapi yang buruk kita lemparkan, cukup jadi catatan saja. Nurcholish Madjid berkata, “Biasanya permulaan hancurnya seseorang, suatu kelompok, atau bangsa ialah kalau yang bersangkutan itu tidak lagi mau belajar dari sejarah.”

( Republika, 02 Oktober 2006)

Tinggalkan komentar