REAKTUALISASI EMANSIPASI WANITA

Setiap 21 April, ada satu nama yang kita kenang: RA. Kartini.

Kartini adalah simbol perjuangan emansipasi kaum hawa di Indonesia. Namun, seperti peringatan hari besar nasional lainnya, hari Kartini dimaknai secara simbolik dan diperingati sebagai ‘ritual’, sekedar rutinitas tanpa makna. Akibatnya, kerap Hari Kartini identitik dengan baju kebaya dan sanggul yang dipandang sebagai ‘baju resmi’ Kartini. Untuk menghindari rutinitas kosong tanpa makna tersebut, perlu selalu ada reinterpretasi (menafsir ulang) dan reaktualisasi Hari Kartini dalam konteks kekinian sehingga api emansipasi Kartini tidak usang dan menjadi nostalgia sejarah tetapi menginspirasi bagi tumbuhnya kesadaran untuk membebaskan wanita dari belengu dan kerangkeng peradaban.

Nestapa Perempuan
Sepanjang sejarah, wanita menjalani masa silam yang menyakitkan. Sejarah mencatat peradaban besar, seperti Yunani, Romawi, India, dan Cina. Sayangnya, peradaban-peradaban itu tidak memuliakan wanita sebagaimana mestinya. Di Yunani, dalam kalangan elitnya, wanita-wanita disekap dalam ‘sangkar’ istana-istana. Di kalangan bawah, wanita perjualbelikan, dan jika telah bersuami, berada di bawah kekuasaan mutlak suami. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, dan tak punya hak waris. Pada puncak peradaban Yunani, wanita di beri kebebasan untuk memenuhi kebutuhan dan selera biologis laki-laki. Akibatnya, hubungan seksual bebas dianggap tidak melanggar norma dan kesopanan, tempat-tempat pelacuran menjadi sentra-sentra aktivitas politik, sastra dan seni. Bahkan dalam keyakinan mereka, para dewa pun berselingkuh dengan wanita rakyat bawahan.

Dalam peradaban Romawi, wanita di bawah kontrol penuh kekuasaan ayah. Pasca menikah, “hak kepemilikan” wanita jatuh ke tangan suami. Kekuasaan itu meliputi menjual, mengusir, menganiaya, bahkan membunuh. Hasil keringat wanita menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki. Kondisi ini berlangsung hingga abad ke-6 Masehi. Pada rejim Konstantin, wanita diberikan hak pemilikan terbatas, asal tiap transaksi ekonomi disetujui suami atau ayah.

Seksploitasi
Sayangnya, pada abad ini, wanita kembali terjerembab dalam dehumanisasi kembali. Sejatinya, emansipasi, yang menjadi salahsatu slogan kemodernan, membebaskan wanita dari perbudakan, tapi nyatanya, malah menjerumuskannya ke perbudakan baru. Dalam masyarakat kapitalis, wanita diperlakukan sebagai “benda” komoditas. Mereka dijadikan sumber tenaga kerja murah. Bahkan, dieksploitasi untuk menjual barang. Penjualan produk industri mode, kosmetik, dan hiburan, banyak memanfaatkan wanita. Tubuh mereka dipertunjukkan untuk menarik selera konsumen. Mobil mewah tak lengkap tanpa wanita sensual, dan kopi tak enak tanpa penyaji perempuan cantik. Bahkan, pendidikan dan media massa pun menguatkan citra wanita sukses yang glamour, sensual, dan fisikal tersebut.
Yang paling mengerikan, media massa, meski tak seluruhnya, mencitrakan wanita sebagai makhluk yang dihargai melalui tubuhnya. Hal ini terkait dengan mesin kerja media massa itu sendiri yang menggunakan seks sebagai salah satu komoditas industrinya.
Pada dasarnya, seks sebagai awal kehidupan adalah kudus, suci dan terkait dengan pria dan wanita. Namun yang lebih banyak diasosiasikan dengan dunia seks adalah wanita. Dan seks tidak dihubungkan dengan cinta. Sekedar alat ektase belaka. Akhirnya, wanita menjadi objek industri seks. Tubuh wanita dieksploitasi dijajakan di pasaran. Inilah sekploitasi wanita. Wanita dijadikan sebagai komoditas untuk mengalirkan uang untuk segelintir pundi dan saku para pemodal.
Wanita dipamerkan dan “memamerkan diri” di zaman pembendaan. Wanita terperosok, menjadi “korban” era materialistik, hedonistik, sekuleristik, dan individualistik yang sangat dalam. Materialistik karena yang dilihat adalah tubuh dan bukan kepribadian. Hedonistik karena ingin kesenangan sementara. Sekuleristik karena tidak lagi peduli pada nilai moral yang didengungkan oleh semua ajaran etis dan agama. Individualistik karena mereka tak peduli bagaimana dampak dari kenekatan mereka berbugil-ria dengan dampaknya terhadap keluarga dan masyarakat yang dekat dengannya.
Hari Kartini adalah momen untuk menyulut kembali, menafsir ulang makna emansipasi wanita demi pembebasan perempuan dari belenggu perbudakan baru kapitalisme. Kinilah saatnya, wanita memposisikan diri di pusat peradaban tanpa menjadikan dirinya komoditas dan ‘budak’ dari sekploitasi mesin besar kapitalisme. Hal ini penting sebab sebagaimana dikatakan Imam Khomeini, “wanita adalah pendidik masyarakat dan dari pangkuan perempuan lahirlah pria. Laki-laki dan perempuan yang baik lahir pertama-tama dalam pengasuhan wanita. Jadi, wanita adalah pendidik pria. Sesungguhnya kebahagiaan dan kehancuran negeri tergantung kepada eksisteni wanita. Wanita yang terdidik dengan baik akan melahirkan manusia yang baik dan memakmurkan negeri.” Wa Allahu a’lam bish shawabi
(Radar Banten, 21 April 2006)

Tinggalkan komentar