BANJIR, DOSA SOSIAL, DAN TOBAT NASIONAL

Malapetaka banjir yang “menenggelamkan” Jakarta dan sekitarnya, termasuk beberapa wilayah Banten, adalah “teks” Ilahi multi tafsir, tergantung perspektif  (sudut pandang) yang dipakai. Artinya, banjir bisa diteropong dari perspektif sosiologi, ekonomi maupun politik. Namun, kita kerap alpa melihat banjir dari kacamata teologi (Islam). Perspektif teologi adalah suatu pendekatan dalam melihat fenomena dari kerangka dan bingkai fikir ketuhanan. Tulisan ini akan membedah banjir yang menggerus negeri ini dari perspektif teologi.   Dosa Sosial

Dalam perspektif teologi, banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya merupakan efek dari dosa sosial, suatu  terminologi yang dipopulerkan oleh Murtadha Muthahhari, seorang ulama-filosof Iran . Menurut Muthahhari,  masyarakat, sebagaimana individu, memiliki eksistensi  mandiri: Suatu masyarakat bisa memiliki dosa sosial, sebagaimana individu bisa memiliki dosa individu.

Masyarakat dapat memiliki dosa sosial dengan dua sebab utama: pertama, bersepakat untuk melakukan kemungkaran. Kedua, diam terhadap kemungkaran yang terjadi padahal kemungkaran tersebut dapat dicegah. Penyebab model pertama kemungkinan sulit kita temukan, dibanding model yang  kedua.

Perjalanan hidup masyarakat merupakan perjalanan bersama. Karena itu, jika salah seorang di antara mereka melakukan dosa, maka yang lain wajib mencegahnya. Artinya, keberadaan manusia di dunia bersifat sosial.  Konsekuensinya, perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh seorang individu akan mempengaruhi  masyarakat.  Dan sebaliknya, perbuatan-perbuatan jahat pun berdampak negatif terhadap masyarakat.  

Nabi Muhammad Saw memetaforakan pengaruh jahat seorang anggota masyarakat seperti sekelompok orang yang bersama-sama mengarungi samudera luas dengan sebuah perahu.  Kemudian salah seorang di antara mereka ada yang mencoba melobangi perahu tersebut pada dinding perahu yang ada di dekat tempat duduknya.  Penumpang yang lain tidak melarangnya dengan  alasan karena orang tersebut hanya melobangi tempat yang didudukinya saja. Bagaimana nasib perahu tersebut? Jelas,  perahu itu pasti tenggelam. Singkatnya, jika  mereka melarang orang  melakukan perbuatan jahat, maka pada dasarnya mereka  menyelamatkan diri mereka sendiri sekaligus menyelamatkan sang oknum dari bencana.

Jadi, di dalam bermasyarakat  sebagai sebuah komunitas, selalu ada orang baik (saleh) dan ada orang jahat. Kerapkali orang-orang jahat  memperoleh manfaat  dari amal orang-orang saleh.  Dan sebaliknya, orang-orang saleh kadang-kadang terkena akibat perbuatan-perbuatan orang jahat. Karena itu, menghidupkan mekanisme kontrol sosial dengan mengfungsikan  amar ma’ruf nahy munkar merupakan suatu keniscayaan bagi tiap masyarakat dan bangsa.(QS. Ali Imran:104).

Tobat Nasional

Korupsi berjamaah, kezaliman atas kemanusiaan yang sistematis dan  kemaksiatan yang terorganisir bukan sesuatu asing dalam kehidupan keseharian bangsa ini. Sayangnya, kita sebagai bangsa belum mampu untuk melakukan amar ma’ruf nahy munkar yang sistemik dan terorganisir. Ini dosa sosial. Bagaimana membendung efek negatif dosa sosial? Dari perspektif teologi, langkah awal pencegahan efek negatif dosa sosial adalah taubat. Namun, menurut Imam Ali bin Abi Thalib, dalam Nahj al-Balaghah, taubat tidak boleh diartikan hanya sekedar mengucap astaghfirullah, tapi mesti memenuhi enam unsur utama. Pertama, penyesalan atas kesalahan. Kedua, tekad untuk tidak mengulanginya. Ketiga,  mengembalikan hak-hak makhluk yang pernah dirampas. Keempat, memenuhi kewajiban yang pernah dilalaikan. Kelima, membereskan daging tubuh yang pernah ditumbuhkan oleh sesuatu yang haram dengan membiarkan hanya kulit yang melekat di tulang, yang kemudian akan menumbuhkan daging baru. Keenam, membuat tubuh merasakan pedihnya dalam ketaatan sebagaimana tubuh pernah merasakan manisnya kemaksiatan.

Karena itu, tobat nasional bangsa ini bukan hanya ritual masal  membaca istighfar  namun aksi-aksi konkret pemerintah dan rakyat untuk merehabilitasi kehidupan orang-orang yang terzalimi oleh sistem sosial, politik dan ekonomi, bersikap tegas dan keras terhadap para koruptor yang merampok uang rakyat, menghukum dengan berat para “maling kayu” (illegal logging),  menciptakan sistem politik yang menjadikan pemerintah dan DPR sebagai “pelayan” rakyat, bukan “juragan.yang selalu dimanja dengan berbagai fasilitas,   mengentaskan para korban bencana yang selama ini terlalaikan hak-haknya, seperti para pengungsi akibat bencana tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, dan luapan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo. Selama korupsi dan pelanggaran hak-hak rakyat merajalela, para pemimpin lebih mengutamakan “perutnya”,  dan tidak ada amar ma’ruf nahy munkar, maka bencana akan terus menyambangi negeri ini. Tobat nasional merupakan gerakan perbaikan bersama untuk bersikap adil baik terhadap diri, masyarakat, maupun alam. Wa Allahu a’lam

(Radar Banten, 12 Februari 2007)

Tinggalkan komentar