FILSAFAT SOSIAL ALI SHARIATI: SEBUAH PENGANTAR

Filsafat Sosial Ali Shari’ati:

Sebuah Pengantar[i]

M. Subhi-Ibrahim

 

 

Karakter Filsafat Shariati

1) Motif Praxis

 

Pemikiran, ide, maupun gagasan cemerlang yang lahir dari seorang pemikir tak bisa dilepaskan dari ruang sosio-politik dan kultural dimana ia hidup. Pemikiran adalah buah  interaksi individu dengan realitas. Suatu pemikiran akan kehilangan baju historis dan ruh inspirasinya bila diisolasikan dari ruang dan waktu dimana ia lahir. Filsafat sosial Ali Shari’ati pun demikian. Shari’ati tak bisa dilepaskan dari konteks Iran. Pergolakkan dan krisis di Iran era 60-70-an adalah “ibu kandung” filsafat sosial Shari’ati.

 

Sesungguhnya, agenda utama aktivitas intelektual Shari’ati bukan menyusun suatu teori filsafat. “Saya tidak ingin sibuk dengan teori-teori.  Saya bukan seorang teoritikus.  Teori-teori adalah baik untuk universitas-universitas—bukan untuk saya. Teori-teori itu tidak dapat melicinkan tujuan saya,” aku Shari’ati.[ii] Tujuan utama dan Titik-bidik Shari’ati adalah masalah bagaimana menganjurkan orang agar beraksi seperti Imam Husain.  Shari’ati yakin, Imam Husain telah berkorban demi membebaskan pengikutnya dari tekanan politik dan sosial.[iii]

 

Sebagai contoh, karyanya al-Hajj.  Dalam buku tersebut, di satu sisi Shari’ati memang membongkar simbol-simbol, menggali makna dan filsafatnya.  Namun, di sisi lain ia bicara tentang penderitaan, penindasan dan kesyahidan (martyrdom). Dari  situ pula ia merekonstruksi gagasan tentang pembebasan, kemerdekaaan dan perjuangan rakyat melawan penindasan. Shari’ati terkesan sedang berperan sebagai arsitek sebuah revolusi.  Bahkan menurut Hamid Alghar, di jantung gugus fikir Shari’ati, yang banyak ia lontarkan di banyak tempat dan kesempatan, terkandung misi revolusi.[iv]  

             

2) Inklusifitas Referensial dan Eklektisme-Kritis

 

Harus diakui, bila melacak sumber pemikiran Shari’ati, maka akan ditemukan sebuah panorama yang menunjukkan sebuah keterbukaan (inklusifitas) rujukan. Shari’ati, secara tidak sungkan-sungkan mengutip dan memetik berbagai khazanah pemikiran, baik dari tradisi Barat, Timur maupun Islam.

 

Dalam banyak karya Shari’ati, bisa dijumpai nama-nama pemikir besar yang ia rujuk, seperti Durkheim, Fanon, Sartre, Heidegger, Marx, Nietzche, Bergson dari tradisi pemikiran Barat, Radakrishnan dari tradisi pemikiran India (Timur), atau Rumi dari tradisi pemikiran Islam. 

 

Keterbukaan dalam rujukan mengantarkan Shari’ati pada suatu gaya (style) berfikir eklektis.[v] Eklektisme, sebagai suatu gaya berfikir, telah dipraktekkan oleh banyak filosof muslim, seperti al-Kindi, pada era filsafat Islam klasik, atau Mohammad Iqbal, pada kurun Modern.

 

Dalam meramu pemikirannya dengan bahan ide yang kaya, Shari’ati memiliki sikap mendua. Di satu sisi menerima, namun di sisi lain mengkritik habis suatu pemikiran. Kepekaan paradoksal Shari’ati ini bisa dimengerti dari motif dasar kerangka berfikirnya. Motif terdalam yang menggugah Shari’ati adalah motif praxis, yaitu pembebasan, khususnya pembebasan rakyat Iran dari despot-tirani Shah Iran. Maka baginya, perlu sebuah pemikiran yang bisa menjadi ideologi pembebasan yang mampu mengubah kondisi sosio-politik secara revolusioner.  Oleh karena itu, Shari’ati selalu melihat segala khazanah pemikiran dari perspektif pembebasan tersebut.

 

Secara umum, ada dua tradisi pemikiran yang coba dipadukan oleh Shari’ati guna memenuhi obsesi intelektual tersebut, yaitu tradisi pemikiran Islam dan tradisi pemikiran Barat. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa butir pemikiran yang ia serap dari dua tradisi tersebut.

 

Pertama, dari tradisi Islam, Shari’ati banyak menyerap istilah-istilah kunci doktrin Islam seperti tauhid, syahadah, jihad, ijtihad, ‘adalah. Istilah dan konsep religius itu oleh Shari’ati direinterpretasikan melalui satu kerangka konseptual, yaitu bahwa Islam yang otentik (sejati) adalah Islam yang memihak kepada rakyat, membela kaum tertindas, dinamis, progresif dan revolusioner.

 

Kekentalan paradigma itu tampak dalam beberapa karya Shari’ati yang mengkritisi paham keagamaan yang banyak dianut oleh umat Islam (Syi’ah) Iran.[vi] Menurut Shari’ati, Syi’ah yang otentik adalah Syi’ah Alawi, yang ia sebut sebagai syi’ah merah (red Shi’sm).  Syi’ah Merah merupakan Syi’ah yang di dalamnya bergolak semangat revolusioner, pencarian kebebasan, keadilan, bersandar pada rakyat dan berjuang dengan tegar melawan penindasan, kejahilan serta kemiskinan. Singkatnya, seperti dikemukakan Ira M. Lapidus (professor sejarah di Universitas Kalifornia, Barkeley) bahwa dalam benak Shari’ati tertanam keyakinan bahwa syi’ah (sejati) merupakan suatu agama protes.[vii]  Lawan Syi’ah merah adalah Syi’ah hitam, yaitu syi’ah yang meninggalkan massa rakyat, menjadi stempel penguasa yang menindas, dan menina-bobokan umat.[viii] 

 

Inti adopsi dan reinterpretasi Shari’ati terhadap doktrin Islam adalah mentransformasikan agama dari sekedar ajaran etika individual menjadi ideologi revolusioner yang mampu mengubah dunia. Dalam The Oxford Enciylopedia of the Modern Islamic World diungkapkan bahwa “Agama, dalam pandangan Shari’ati, dapat mengantarkan orang pada komitmen ideologi untuk membebaskan individu dari tekanan”[ix]

 

Kedua, dari pemikiran Barat, Shari’ati banyak memetik ide-ide cemerlang. Interaksi yang intensif dengan wacana serta pergolakan pemikiran di Barat, selama di Paris, membekas dalam benak Shari’ati dalam bentuk yang paradoksal pula.  Bagi Shari’ati, pola pikir Barat memiliki dua sisi paradoksal. Di satu sisi menguntungkan dan berguna, tetapi di sisi lain merugikan dan memuakkan. Menguntungkan, dalam arti, pemikiran Barat mampu memberi horizon berfikir baru dalam melihat realitas, akan tetapi memuakkan karena menyisihkan, menyepelekan bahkan memberangus sisi spiritual yang merupakan salah satu ciri esensial manusia.

 

Sisi positif yang dilihat Shari’ati dari tradisi pemikiran Barat adalah kemampuan dan ketajaman instrumen ilmiah Barat dalam menyoroti dan menganalisa realitas, khususnya realitas sosial. Pada bidang analisa sosial ini Shari’ati banyak menukil pemikiran Barat. Minimal ada dua aliran besar pemikiran Barat yang dominan diadopsi Shari’ati dalam filsafat sosialnya, yaitu:

 

1.      Marxisme.

Shari’ati menyepakati “kerangka” pikir Marxisme dengan meminjam konsep konflik dialektik. Istilah Shari’ati tentang determinisme historis (jabr-i tarikh-i) pun diambil dari khazanah Marxisme.  Bagi Shari’ati, figur Karl Marx bisa dibedakan menjadi tiga figur: Marx muda, Marx dewasa dan Marx tua.  Marx muda lebih sebagai Marx yang menekankan dimensi ekonomi dalam analisisnya dan ateistik.  Marx dewasa adalah tokoh sosiolog yang mengkaji tentang bagaimana penguasa menindas yang dikuasai, hukum determinisme historis, bukan determinisme ekonomik, super-struktur dan infra-struktur masyarakat, ideologi. Marx tua adalah Marx “sang politikus”, yang memimpin gerakan komunisme internasional.  Dari ketiga figur Marx tersebut,  Shari’ati lebih kagum dan banyak menyerap pikiran dari Marx dewasa.[x]

 

2.      Eksistensialime

Filsafat eksistensialime memberi “mata baru” bagi Shari’ati untuk melihat individu. Inti pikiran yang diserap Shari’ati adalah bahwa individu dengan segala kebebasannya, harus bertanggung jawab atas semua tingkah-polanya.

 

3) Filsafat yang Menggerakkan

 

Seperti telah disitir di muka bahwa Shari’ati mengolah dan menyusun filsafat sosialnya bukan tanpa motif. Dorongan terbesar yang menggugah Shari’ati adalah membebaskan rakyat Iran dari rejim Shah Iran yang korup, menindas dan otoriter.[xi]  Untuk tujuan praxis tersebut,  Shari’ati secara sadar menciptakan sebuah filsafat yang bisa menjelma sebagai ideologi pembebasan.[xii] Bagi Shari’ati, filsafat tidak boleh netral. Ia harus memihak. Filsafat yang “bebas kepentingan” atau bebas nilai hanya akan menjadi eksplorasi melangit, tak membumi, dan asing. Bahkan bila filsafat ditempatkan sebagai ide netral, maka ia bisa dimanfaatkan, dimanipulasikan untuk melegitimasi kekuasaan atau sekedar sebagai aktifitas pelipur lara komunitas elit intelektual saja.[xiii]

 

Selain sisi kenetralan filsafat yang dikritik, Shari’ati pun secara eksplisit menyindir filsafat yang “melangit” dengan sangat tajam. Dalam The Visage of Mohammed, Shari’ati mengatakan:

 

Jika kita mencopot Sokrates dan murid-muridnya dari sejarah, apa yang terjadi? Hanya perpustakaan dan akademi-akademi yang akan keluar menjerit-jerit. Tetapi rakyat jelata tak akan tahu tentang itu. dan, mereka tak akan merasa kehilangan[xiv]

 

 

Dalam buku yang sama, Shari’ati melanjutkan bahwa:

 

 

Tak ragu lagi, bagi Barat dan Metrale, Spartakus lebih berguna dan menguntungkan ketimbang sebuah akademi penuh dengan Plato dan Aristoteles. Sedang bagi Timur, Abu Dzar, seorang Arab Badui, lebih efektif ketimbang ratusan Ibn Shina, Ibn Rusyd dan Mulla Shadra[xv]

 

 

Sikap kritis Shari’ati atas filsafat bukan berarti bahwa ia menolak mentah-mentah filsafat.  Shari’ati hanya tak setuju bila filsafat semata menjadi olah-pikir yang tak menyentuh kehidupan nyata, dan hanya “membicarakan” realitas tanpa mampu berkomunikasi, dan “mengubah” realitas.  Hal ini dibuktikan oleh Shari’ati.  Efektifitas ide-ide Shari’ati bisa dilihat secara nyata dalam revolusi rakyat Iran, 11 Januari.  Hamid Algar, dalam pengantar  Marxism and Other Western Fallacies karya Shari’ati, menjelaskan bahwa:

 

Kalimat-kalimatnya yang mengesankan dari tulisan-tulisannya menjadi slogan revolusi yang siap pakai tanpa perlu diutak-atik dan dikomentari kembali. Tulisan tersebut dicantumkan pada bendera-bendara yang selalu dibawa pada demonstrasi besar yang dilakukan selama Revolusi Iran. “Syuhada adalah jantung sejarah!’, ‘Setiap hari adalah Asyura, setiap tempat adalah Karbala! ’”[xvi]

 

Dialektika Sosiologi:

Pokok Filsafat Shariati

1) Antropologi : Dasar Dialektika Sosiologi

 

Dialektika sosiologi dibangun berdasarkan suatu kerangka ontologi dalam bentuk citra hakikat manusia (antropologi). Artinya, Shari’ati menjadikan paradigma humanistik sebagai pondasi dialektika sosiologi-nya. Dalam basis antropologis itu, manusia dicitrakan sebagai : pertama, makhluk (ciptaan) Tuhan, kedua, dicipta dari dua unsur esensial, yakni tanah dan ruh ilahi, ketiga, posisinya di bumi sebagai khalifah-Nya, dan keempat, diberi keistimewaan ilmu dan kebebasan kehendak.  Dua unsur pembentuknya menjadikan manusia sebagai makhluk dua dimensi (bi-dimensional). Berkat dua unsur esensial yang saling bertentangan itu pula, manusia diistilahkan Shari’ati sebagai  realitas dialektis.  Kondisi konflik dialektis abadi internal diri manusia menjadikannya sebagai fenomena dialektik itu sendiri.  Sepanjang hidupnya, manusia tak bisa lepas dari konflik dialektis tersebut.   Kualitas kemanusiaan bisa diukur dari kesuksesan dalam menjalani konflik dialektik itu.  Insan adalah manusia yang telah memihak sisi ruh ilahi, mampu meloloskan diri dari empat penjara manusia (alam, sejarah, masyarakat dan ego) yang mendeterminasi hidupnya.  Sedangkan basyar adalah manusia yang masih terkurung oleh  empat kekuatan deterministik itu.  Oleh karena itu, manusia ideal adalah manusia dengan kualitas insan tersebut.  Manusia dengan kualitas insan tersebut merupakan kerangka dasar rausyanfikr (pemikir yang tercerahkan) sebagai penggerak revolusi sosial.

 

 

2) Dialektika : Hukum Sosial

 

Murtadha Muthahari menulis dalam Society and History,”apabila masyarakat memiliki eksistensi yang nyata, maka ia tentu mempunyai hukum-hukum yang khas.”[xvii] Bagi Shari’ati, hukum yang khas itu adalah hukum dialektika. Sebagaimana manusia individual, masyarakat pun merupakan lokus dialektika.  Di dalamnya berlaku hukum dialektika. Hal ini bisa dilihat pada:

 

Pertama, sejarah masyarakat.  Masyarakat berkembang secara historis melalui dua tahap: zaman habil (pastoralis), dan zaman Qabil (agrikulturalis).  Hukum sejarah berbentuk dialektika-historis dimana tahap Habil diganti  oleh anti-tesisnya (tahap Qabil), dan berakhir dengan kembalinya tahap Habil.  Dengan kata lain, dialektika historis bergerak secara siklis.  Inilah yang dikenal determinisme historis (jabr-e tarikh).

 

Kedua, anatomi masyarakat pun menunjukkan bahwa dialektika merupakan hukum yang mendasarinya. Super-struktur masyarakat memiliki dua struktur dasariah, yakni struktur Habil dan struktur Qabil.  Karena masyarakat berbentuk dua struktur, maka kutub masyarakat pun terbelah menjadi dua kutub utama, yaitu: kutub Qabil (kelas-kelas penguasa) dan kutub Habil (kelas-kelas yang dikuasai).  Di balik semua pengkutuban tersebut ada penopang dasar yang mengukuhkan dua struktur dan kutub sosial itu.  Penopang dan pilar tersebut adalah infra-struktur sosial yang berbentuk pandangan dunia (jahan bini).  Sebagaimana polarisasi struktur dan kutub sosial,  pandangan dunia pun terdiri dari dua model, yakni pandangan dunia tauhid dan pandangan dunia syirk.  Pandangan dunia tauhid melandasi cita-cita masyarakat ideal (ummah).  Jadi, bagi Shari’ati, berdasarkan eksplanasinya, hukum yang menjadi sunnah (norma) dasar penggerak dinamika sosial adalah hukum dialektika.

 

3) Tauhid : Teropong Realitas

      

Shari’ati menyajikan konsep tauhid bukan sebagai konsep teologi-teoritis.  Shari’ati memaknai tauhid sebagai jahan bini (pandangan dunia).  Bagi Shari’ati, tauhid adalah paradigma untuk menatap realitas secara lebih radikal, baik realitas fisik atau meta-fisik, dalam bingkai unitas (kesatuan). Tauhid berfungsi sebagai cara memandang realitas (epistemologi).  Dengan menempatkan tauhid seperti ini, tampaknya Shari’ati ingin agar implikasi epistemologi tauhid dapat menjadi basis tata-nilai dalam segala aktivitas manusia, baik secara individual maupun sosial.  Bila tata-nilai tersebut menjadi paradigma individu-individu dalam meneropong realitas, maka cita-cita terwujudnya masyarakat ideal bisa menjadi kenyataan. Individu-individu tauhid bisa mengkristal menjadi ummah atau masyarakat tauhid.

 

4) Ummah : Sintesa Basis Material dan Basis Spiritual

 

Konsep ummah yang digagas Shari’ati sangat khas dan unik.  Seperti dalam kisah Habil dan Qabil, keterbelahan sosial bermula dari basis material masyarakatnya, yakni dimensi ekonomi (pekerjaan).  Oleh karenanya, Shari’ati menaruh ekonomi sebagai kerangka dasar yang menjadi pilar ummah.  Dalam sistem sosial ummah  berlaku persamaan dan keadilan sebagai nilai asasi, serta tak ada kelas sosial (sistem sosialistik-habilian). Imamah merupakan pilihan Shari’ati sebagai sistem politik yang menata kehidupan politis. Ummah merupakan sintesa dua kutub yang mendasari terbentuknya masyarakat, yakni kutub basis material (kerangka dasar dan sistem sosial) dan kutub basis spiritual (sistem politik), dalam konstruksi masyarakat idealnya.  

 

 

 

 

5) Al-Nas dan Rausyanfikr : Aktor Revolusi Sosial

 

Menurut Shari’ati, revolusi sosial bukan hanya suatu keharusan tapi juga suatu keniscayaan.  Pemikirannya ini didasarkan pada teori determinisme-historis.  Dalam teori tersebut, sejarah masyarakat manusia bergerak secara siklis, dimana tahap pertama merupakan masa jaya sistem Habil. Selanjutnya, pada tahap kedua, terjadi pergeseran.  Masyarakat dikuasai sistem Qabil. Di akhir tahapan, sistem Habil kembali merebut kendali masyarakat. Transisi antara tahap kedua dan tahap ketiga berbentuk revolusi sosial.  Revolusi sosial berarti bahwa pelaku utama revolusi tersebut adalah massa atau rakyat (al-nas).  Kendalanya, al-nas tak selalu sadar akan kondisi ketertindasan mereka dalam masyarakat Qabilian. Oleh karena itu, dibutuhkan figur yang “memicu dan menumbuhkan” kesadaran akan adanya konflik dialektis di masyarakat. Figur tersebut adalah rausyanfikr.  Rausyanfikr bekerja tidak dengan tangan kosong.  Ia menggerakkan kesadaran revolusioner massa dengan instrumen ideologi.  Jadi, aktor proses kelahiran revolusi sosial adalah rausyanfikr, dan pelaku gerakan revolusinya sendiri adalah al-nas (massa, rakyat). 

 

Wa Allahu a’lam 

 

 

 


[i] Tulisan ini adalah hasil pemadatan dari tesis saya di STF Driyarkara, Jakarta, berjudul:  Dialektika Sosiologi: Suatu Kajian atas Filsafat Sosial Ali Shariati.

[ii][I do not wish to deal with theories.  I am not a theorist.  Theories are good for universitirs—not for me.  They cannot serve my purpose.]  Ali Shari’ati, Man and Islam, (Mashhad : University of Mashhad, 1982),  h. 268.

[iii]John L. Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World , Vol. 4. Oxford: Oxford University, 1995h. 48.

[iv]Lihat : Preface Hamid Algar untuk buku Ali Shari’ati, Marxisme and Other Western Fallacies : An Islamic Critique, (Barkeley : Mizan Press, 1980)h. 8.

[v]Dalam kaitan dengan hal ini, H.E. Chehabi berkomentar  bahwa referensi dalam karya-karya Shari’ati sangat eklektik. H.E. Chehabi, Iranian Politics and Religious Modernism : The Liberation Movement of Iran Under The Shah and Khomeini, (London: I.B Tauris, 1990), h. 78.

[vi]Syi’ah memiliki beragam mazhab. Dan, mazhab  yang diyakini mayoritas orang Iran adalah “syi’ah duabelas.”  Disebut dua belas karena mereka mempercayai ada dua belas figur yang menjadi imam, yaitu: Ali ibn Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husain ibn Ali, Ali Zain al-Abidin (al-Sajjad), Muhammad al-Baqir, Ja’far al-Shiddiq, Musa al-Khazim, Ali al-Ridha, Muhammad al-Jawwad, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari, dan Muhammad al-Muntazar (al-Mahdi). Keterangan lebih lanjut bisa dilihat dalam : Allamah Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i, Shi’a, (Qum: Ansariyan Publishing, 1981), h. 75-84.  

[vii]Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), h. 588. 

[viii]Tentang Syi’ah Merah (Alawi) dan Syi’ah Hitam (Syafawi) lebih lanjut lihat Ali Shari’ati, Red Shi’ism, (Tehran: The Shari’ati  Foundation, 1979) dan Nikki R. Keddie, Roots of Revolution: An Interpretative History of Modern Iran, (New Haven and London: Yale University Press, 1981), h. 218-220.

[ix][Religion, in Shari’ati perspective, lends itself to ideological commitment for the emancipation of the individual believer from oppression]  John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, h. 48.

[x] Ervand Abrahamian, Radical Islam: the Iranian Mojahedin, (London: I.B. Tauris, 1989), h. 114-115.

[xi]Gambaran korupsi yang maha-dahsyat diungkap oleh Fereydon Hoveioda, Duta Besar Iran untuk PBB. Meskipun Fereydoun sendiri adalah seorang koruptor, namun ia tak tahan melihat korupsi Syah dan anggota keluarganya yang sudah tak masuk akal. Amin Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1997), h. 200.

[xii]Saya lebih memilih istilah “ideologi ”, bukan “teologi ” pembebasan dengan alasan  bahwa  Shari’ati, meski banyak menukil dan mengutip khazanah keagamaan (Islam), namun ia tak memfokuskan diri pada eksplorasi kajian keagamaan. Eksplorasinya lebih bersifat sosiologis. Bahkan, dalam salah satu tanya jawab, Shari’ati ditanya seorang peserta diskusi,”Mengapa, dalam Syi’a, the Messiah mesti anak dari Imam Hasan Askari ?” Shari’ati menjawab,”saya tak akan menyangkutkan diri saya dengan diskusi-disakusi teologi.  Saya akan  mendiskusikan isu tersebut sebagai seorang sosiolog.” Jelas, Shari’ati memposisikan diri, ketika mengungkap pikiran-pikirannya, bukan dalam kapasitasnya sebagai seorang teolog, tapi lebih sebagai seorang sosiolog.  Ali Shariati, Awaiting the Religion of Protest, (Tehran: SOHOF Publications, 1991), h. 50.

[xiii] Kritik tajam Shari’ati atas sains dan filsafat “bebas nilai” bisa ditemukan, salah satunya, dalam Man and Islam pada bagian “ideology.” Ali Shari’ati, Man and  Islam, (Mashhad: University of Mashhad, 1982), h. 189-229.

[xiv] [If we take Socrates and his students out of history what would happen? Only the libraries and the academies would come out with cries but the people would not even come to know everything about that in other words they shall not miss them]. Ali Shari’ati, The Visage of Mohammed, (Tehran: CIPIR, 1981), h. 6.

[xv] [Undoubtedly for West and the Metrale Spartacose is more useful and beneficial than an academy full of Platoes and Aristotles and for East Abuzar, a bedouine Arab is more effective than hundreds of Ibne Sina, Ibne Rushd and Mulla Shadra]. Ibid., h.7.

[xvi] [Memorable sentences from his writings served as ready-made revolutionary slogans, without need for any elaboration or commentary, and they were inscribed on banners carried in all of great demonstrations of the Iranian revolutionary: “The martyr is the heart of history!”, “Every day is Ashura; every place is Karbala!”]  Ali Shari’ati, Marxism and Other Western Fallacies, h. 8-9.

[xvii]Murtadha Muthahari, Society and History, (Tehran: The Council For Ten-Day Dawn Celebrations, 1985), h. 18.

10 pemikiran pada “FILSAFAT SOSIAL ALI SHARIATI: SEBUAH PENGANTAR

  1. assalamualaikum saudara ruhullah..

    minta maaf kerna mengganggu.. cuma saya ingin bertanya.. adakah saudara pengikut ajaran sheikh ahmad mustafaa alawi… ?

  2. Wa salam.

    Pertanyaannya sederhana, tapi sulit dijawab. Memang, saya kagum pada Syeikh Ahmad Mustafa Alawi. Yang saya tahu, beliau adalah salahsatu mata rantai spiritual tarekat sadziliyah. Meskipun begitu, saya “belum pantas mengklaim diri” sebagai pengikut beliau. Apakah saudara pun pengagum atau bahkan pengikut Sang Syekh? Mungkin kita bisa sharing…

    m. Subhi-Ibrahim

Tinggalkan Balasan ke akbar Batalkan balasan